NESIAPOS - Oleh: Irwan
Islam adalah agama yang mengajarkan manusia untuk menebarkan kasih sayang di alam semesta. Berangkat dari pemahaman Islam sebagai rahmatan lil alamin inilah, umat Muslim dituntut bisa menjadi pelopor perdamaian dan ketenteraman hidup. Hal ini diungkapkan Ahmad Soleh dala buku bertajuk Wajah Islam Kita, mengutip surah al-Anbiya ayat 107, “Dan tiadalah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Buku Wajah Islam Kita berisi esai-esai tentang Islam dan dinamika yang menyertainya. Esai-esai dalam buku ini juga memaparkan renungan dan refleksi mengenai isu keislaman kontemporer yang sering kita hadapi sehari-hari. Pembaca diajak untuk bermenung tentang realitas keislaman yang tengah dihadapai belakangan ini. Mulai dari bagaimana menafsirkan ajaran Islam dalam praktik keseharian, seperti menyikapi polemik cadar, politisasi Islam, ektremisme agama, hingga bencana alam yang kerap dikaitkan dengan azab. Tema-tema ini dipaparkan dalam bab I, yakni Bermenung Soal Islam Kita.
Selain itu, buku yang terbagi atas tiga bab ini juga mengajak pembaca untuk memaknai kembali tugas kenabian umat Islam dan peran agama dalam ranah sosial. Hal ini dibahas dalam bab II Dimensi Sosial Islam. Penulis mengutip pemikiran tokoh cendekiawan Muslim, sejarawan, dan sastrawan Kuntowijoyo yang menggagas ilmu sosial profetik.
Kuntowijoyo melakukan tafsir kritis terhadap surah Ali Imron ayat 110, sehingga menemukan konsep ilmu sosial profetik. “Dan tugas kenabian itu menurut Kuntowijoyo sendiri merupakan upaya keterlibatan kita (umat Islam) dalam sejarah, tidak lain tidak bukan adalah untuk mencapai cita-cita khairu umah atau umat terbaik.” (2020: 43).
Selain Kuntowijoyo, penulis juga mengutip pemikiran Buya Syafii Maarif, guru bangsa dan mantan ketua umum PP Muhammadiyah. Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Islam dan kebangsaan menjadi pembahasan yang menarik di antara polemik kebangsaan.
Melalui buku ini Soleh mencoba menarik pemikiran Buya Syafii pada kondisi kekinian. “Dari semua sila, saya sepakat, sila Ketuhanan Yang Maha Esa-lah yang menjadi jiwa/spirit bagi sila-sila lain yang ada di dalamnya. Selain secara logika bisa diterima oleh semua golongan, ras, dan agama, Pancasila juga bisa diterima oleh kelompok-kelompok yang berpandangan politis-pragmatis.” (2020: 115).
Dalam esai-esai dalam buku Wajah Islam Kita terdapat sebuah relevansi makna yang bisa ditangkap dan dipahami guna menjawab tantangan dunia Islam pada saat ini. Lebih-lebih, penulis mengungkapkan dalam penelitian Martin Slama, guru besar Universitas Vienna, wajah Islam di Indonesia tengah mengalami perubahan yang signifikan lantaran adanya aktivisme digital para pemeluknya.
Dengan adanya fakta demikian, penulis menganggap pentingnya umat Islam saat ini memahami literasi digital. “Dengan kuatnya literasi digital, termasuk di dalamnya literasi media dan informasi, kita bisa terhindar dari paparan ekstremisme dan paham menyesatkan lainnya, yang begitu banyak tersebar melalui smartphone kita.” (2020: 137).
Secara umum, garis besar buku ini menekankan pada tiga poin utama. Pertama, memahami Islam secara utuh. Kedua, peran Islam dalam lingkup sosial dan kebangsaan. Dan, ketiga, wajah Islam di era kekinian. Namun, pembahasan esai-esai yang singkat membuat pembahasannya tidak begitu mendalam dan utuh.
Meskipun, secara penyajian esai-esai dalam buku ini ditulis dengan gaya bahasa yang populer. Hal ini justru membuat pembaca lebih mudah mengerti. Selain itu, buku ini jadi nyaman dibaca bagi anak muda, khususnya kaum milenial. Meskipun, pada beberapa bagian akan ditemui pembahasan-pembahasan yang berat. Buku ini tepat untuk pembaca yang ingin memperkaya diri dengan wacana keislaman, kebangsaan, dan dinamika global.
Buku Wajah Islam Kita berisi esai-esai tentang Islam dan dinamika yang menyertainya. Esai-esai dalam buku ini juga memaparkan renungan dan refleksi mengenai isu keislaman kontemporer yang sering kita hadapi sehari-hari. Pembaca diajak untuk bermenung tentang realitas keislaman yang tengah dihadapai belakangan ini. Mulai dari bagaimana menafsirkan ajaran Islam dalam praktik keseharian, seperti menyikapi polemik cadar, politisasi Islam, ektremisme agama, hingga bencana alam yang kerap dikaitkan dengan azab. Tema-tema ini dipaparkan dalam bab I, yakni Bermenung Soal Islam Kita.
Selain itu, buku yang terbagi atas tiga bab ini juga mengajak pembaca untuk memaknai kembali tugas kenabian umat Islam dan peran agama dalam ranah sosial. Hal ini dibahas dalam bab II Dimensi Sosial Islam. Penulis mengutip pemikiran tokoh cendekiawan Muslim, sejarawan, dan sastrawan Kuntowijoyo yang menggagas ilmu sosial profetik.
Kuntowijoyo melakukan tafsir kritis terhadap surah Ali Imron ayat 110, sehingga menemukan konsep ilmu sosial profetik. “Dan tugas kenabian itu menurut Kuntowijoyo sendiri merupakan upaya keterlibatan kita (umat Islam) dalam sejarah, tidak lain tidak bukan adalah untuk mencapai cita-cita khairu umah atau umat terbaik.” (2020: 43).
Selain Kuntowijoyo, penulis juga mengutip pemikiran Buya Syafii Maarif, guru bangsa dan mantan ketua umum PP Muhammadiyah. Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Islam dan kebangsaan menjadi pembahasan yang menarik di antara polemik kebangsaan.
Melalui buku ini Soleh mencoba menarik pemikiran Buya Syafii pada kondisi kekinian. “Dari semua sila, saya sepakat, sila Ketuhanan Yang Maha Esa-lah yang menjadi jiwa/spirit bagi sila-sila lain yang ada di dalamnya. Selain secara logika bisa diterima oleh semua golongan, ras, dan agama, Pancasila juga bisa diterima oleh kelompok-kelompok yang berpandangan politis-pragmatis.” (2020: 115).
Dalam esai-esai dalam buku Wajah Islam Kita terdapat sebuah relevansi makna yang bisa ditangkap dan dipahami guna menjawab tantangan dunia Islam pada saat ini. Lebih-lebih, penulis mengungkapkan dalam penelitian Martin Slama, guru besar Universitas Vienna, wajah Islam di Indonesia tengah mengalami perubahan yang signifikan lantaran adanya aktivisme digital para pemeluknya.
Dengan adanya fakta demikian, penulis menganggap pentingnya umat Islam saat ini memahami literasi digital. “Dengan kuatnya literasi digital, termasuk di dalamnya literasi media dan informasi, kita bisa terhindar dari paparan ekstremisme dan paham menyesatkan lainnya, yang begitu banyak tersebar melalui smartphone kita.” (2020: 137).
Secara umum, garis besar buku ini menekankan pada tiga poin utama. Pertama, memahami Islam secara utuh. Kedua, peran Islam dalam lingkup sosial dan kebangsaan. Dan, ketiga, wajah Islam di era kekinian. Namun, pembahasan esai-esai yang singkat membuat pembahasannya tidak begitu mendalam dan utuh.
Meskipun, secara penyajian esai-esai dalam buku ini ditulis dengan gaya bahasa yang populer. Hal ini justru membuat pembaca lebih mudah mengerti. Selain itu, buku ini jadi nyaman dibaca bagi anak muda, khususnya kaum milenial. Meskipun, pada beberapa bagian akan ditemui pembahasan-pembahasan yang berat. Buku ini tepat untuk pembaca yang ingin memperkaya diri dengan wacana keislaman, kebangsaan, dan dinamika global.
0 Komentar