NESIAPOS, JAKARTA - Perkumpulan Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia (P3SI) melaksanakan Rapat Kerja Nasional dan Seminar Nasional pada 21-22 Juli 2023. Prodi Sejarah Uhamka sebagai tuan rumah, telah menyiapkan agenda dengan maksimal dengan melibatkan berbagai pihak. Peserta seminar dihadiri oleh sekitar 60 dosen dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan guru-guru dari Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Sejarah dan Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) se-DKI Jakarta.
Acara dimulai dengan sambutan dari Ketua Umum P3SI Dr. Zulkarnain, M.Pd dan pemimpin kampus. Kemudian acara dilanjutkan dengan pengisian materi seminar dengan tema “Kepemimpinan Lokal untuk Kepemimpinan Nasional”. Topik ini penting diangkat untuk merepresentasikan nilai-nilai lokal yang dapat diadaptasi untuk kepemimpinan nasional dengan pengetahuan serta implementasi dari local wisdom.
Sesi berikutnya yakni keynote speech yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Pendidikan Prof. Dr. Nunuk Suryani M.M.P. Ia menjelaskan mengenai problematika yang terjadi dalam pendidikan nasional serta dampak dari adanya post truth yang pada akhirnya memberikan implikasi kurang baik bagi kepemimpinan nasional.
“Selamat dan sukses atas penyelenggaraan kegiatan seminar nasional dan rapat kerja nasional, bagi para guru dan para dosen teruslah aktif dan semangat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menjadikan sejarah sebagai pilar serta tonggak utama dari majunya pendidikan di Indonesia,” ujar Dr. Nunuk, Jumat (28/7).
Kepemimpinan Lokal Minangkabau
Sementara itu, Prof. Dr. Siti Fatimah M.Pd. M.Hum. memberikan materi tentang kepemimpinan lokal Minangkabau serta sumbangsihnya terhadap kepemimpinan nasional. Dia menjelaskan, kepemimpinan lokal yang sifatnya local wisdom bisa berimplikasi baik serta menciptakan tokoh-tokoh nasional yang memiliki wawasan serta integritas baik.“Sehingga pembangunan bangsa dengan prinsip matrilineal demokrasi serta egaliterial menjadi poin pembangunan bangsa khususnya di awal-awal kemerdekaan menjadi pilar yang kokoh dari terbentuknya negara Indonesia,” tuturnya, Jumat (28/7).
Dia juga menjelaskan, warisan-warisan kepemimpinan lokal berpengaruh pada kepemimpinan nasional, seperti demokrasi, pendidikan nasional, politik nasional, musyawarah, egalitarian, dan kemampuan untuk menghormati serta menghargai budaya lain mempererat rasa nasionalisme dan kebinekaan.
Refleksi Kepemimpinan Nasional
Dalam sesi berikutnya, Wakil Rektor II Uhamka Dr. Desvian Bandarsyah M.Pd menjelaskan tentang refleksi kepemimpinan nasional dalam catatan sejarah. Dia menjelaskan, perkembangan kepemimpinan nasional tidak terlepas dari unsur lokalitas sehingga arah perkembangan kepemimpinan di setiap wilayah karena dipengaruhi oleh unsur-unsur lokalitas yang ada di wilayah tersebut.“Seiring dengan berjalannya waktu kepemimpinan lokal mengalami derivasi yang diakibatkan oleh kolonialisme sehingga seringkali peran dari pemimpin lokal ditentukan oleh pihak kolonial sesuai dengan kepentingan mereka,” ungkapnya, Jumat (28/7).
Dia juga menjelaskan, ketika Indonesia mencapai kemerdekaan, para pemimpin nasional mengalami tantangan berat untuk membawa arah ke mana bangsa ini akan dibawa karena pada waktu itu intrik-intrik pribadi dan kepentingan internal sangat kompleks sehingga berpengaruh kepada kepemimpinan nasional saat itu.
“Dalam konteks kepemimpinan nasional lika-liku dari perjalanan bangsa dari era kolonialisme sampai pasca reformasi perjalanan kepemimpinan nasional tidak terlepas dari kemelut dan rekam jejak sejarah,” tuturnya, Jumat (28/7).
Sehingga, menurut Dr. Desvian, melalui pemahaman mendalam tentang kepemimpinan nasional dalam sejarah Indonesia, dapat diambil hikmah dan pelajaran yang utuh untuk menciptakan kepemimpinan yang lebih inklusif, beretika, dan berdampak positif bagi masyarakat bangsa ke depan.
Pro-Kontra Pemindahan IKN
Dalam kesempatan yang sama, Dr. Kurniawati M.Si selaku ketua koordinator penelitian sosial ekonomi dan humaniora UNJ menyampaikan poin penting terkait isu ibu kota negara (IKN). Dia mengatakan, sejarah panjang ibu kota berdampak kepada stabilitas serta prospek bagi negara ke depan, sehingga poin sentral dari adanya pembahasan terkait ibu kota merupakan bagian penting dari kesejarahan.“Pemindahan ataupun pergantian ibu kota menjadi poin penting sebagai upaya dekolonialisasi dan sebagai upaya perubahan signifikan dengan visi dan misi keindonesiaan. Akan tetapi, perpindahan ibu kota tidak selalu berjalan statis dengan didukung oleh semua kalangan. Pro dan kontra tetap meliputi dari adanya perpindahan ibu kota negara,” ungkap Kurniawati, Jumat (28/7).
Menurut dia, pro dan kontra tidak terlepas dari kurangnya transparansi dan kekhawatiran mengenai lingkungan yang akan dijadikan ibu kota negara serta deforestasi yang mungkin menjadi ancaman bagi keberlangsungan hutan Kalimantan.
Di sisi lain, kata dia, kurang dilibatkannya masyarakat Kalimantan Timur dalam proses perpindahan ibu kota dianggap sebagai sebuah keotoritarian negara. “Perpindahan ibu kota bukanlah hal yang baru, tapi merupakan sebuah lompatan besar bagi arah kemajuan Indonesia. Serta mengulangi kejayaan masa lalu Indonesia sebagai poros maritim dunia sehingga dari hal itu kemaritiman serta kejayaan diharapkan akan terulang ketika perpindahan ibukota dilakukan,” ucapnya, Jumat (28/7).
Seusai seminar, acara dilanjutkan dengan rapat kerja nasional di hotel sekitar TMII, Jakarta Timur. Rapat kerja nasional P3SI diikuti oleh 53 dosen dari berbagai universitas yang ada di Indonesia. Rapat kerja ini terdiri atas tiga komisi yang ada dalam struktural kepengurusan P3SI, yaitu komisi akreditasi dan kurikulum, komisi publikasi, dan komisi pengabdian. Seusai menggelar rapat kerja, acara dilanjutkan dengan pelantikan pengurus wilayah P3SI se-Indonesia.
0 Komentar