Membaca Sejarah Lewat ‘Kubah’ Ahmad Tohari

 

NESIAPOS - Oleh: Abdullah Achmad


Ahmad Tohari, nama yang tidak asing bagi pencinta sastra, bukan? Karya terkenalnya adalah Ronggeng Dukuh Paruk. Karya lainnya mungkin tidak banyak orang tahu, termasuk yang satu ini, novel pemberian murid saya, berjudul Kubah. Sudah maklum bila kita judul tersebut menunjukkan makna religius karena identik dengan salah satu rumah ibadah umat Islam, yaitu masjid. Isinya apakah seperti ini? Agaknya semboyan “jangan menilai dari kovernya” berlaku pada buku satu ini.

Novel ini berlatar belakang sejarah politik Indonesia, dikemas apik dengan nuansa polemik rumah tangga yang pedih, juga nuansa religius yang kental di perdesaan. Semuanya tampak sempurna terbalut dalam judul yang menipu. Ya, menipu, bisa dibilang begitu. Kisah kubah yang ditarik menjadi judul hanya terletak di bagian akhir cerita.

Novel ini dominan bercerita mengenai sejarah politik kala ini, sejarah politik yang beberapa saat lalu orang sering pembincangkan kembali, meski kemudian tenggelam oleh isu lain. Sejarah politik mengenai G-30/S-PKI.

Ahmad Tohari berhasil menggarap kisah “makar politik untuk merobohkan Republik yang baru berusia tiga tahun dan menggantinya dengan pemerintahan komunis”, hanya dengan tokoh sentral bernama Karman sebagai tahanan politik yang diasingkan.

Pada latar yang dominan menjadi cerita novel ini saja yang akan saya bahas, sisi lainnya di lain kesempatan saja. Hiruk pikuk masa itu, melahirkan tiga energi yang berbeda: nasionalis, komunis, dan religius. Ketiga energi ini begitu kental berselimut dalam partai ataupun ormas. Energi komunis menjadi begitu liar akibat strata sosial yang terjadi. Maka, energi inilah yang dikemas apik oleh pengarang novel ini. Mari kita kupas dalam dua poin berikut.

Pertama, penanaman ideologi memang seharusnya dilakukan seperti itu, memilih kader dengan cermat, tidak perlu banyak, satu cukup namun jangan harus dijaga sampai jadi. Doktrin yang lazim ditanamkan pada kader adalah melalui bacaan dan diskusi. Dan paling ampuh tentu, lewat kata “jasa”.

Itulah tokoh Karman, sosoknya yang menonjol di antara masyarakat kala ini kemudian dipilih sebagai target kader. Bukan main, bahkan sebelum pilihan jatuh kepada Karman untuk dihasut, semua data mengenai sosok Karman sudah dimiliki sebagai data stategi kaderisasi. Sisinya yang religi berhasil diubah sesuai doktrin energi itu diawali dengan penanaman jasa. Balas jasa berupa diberikannya ia pekerjaan yang layak.

Lalu, secara berkala diberikan bacaan berdalih bacaan tersebut nanti akan diujikan untuk kenaikan pangkat. Berselimut dalam jabatan yang orang anggap biasa, bekerja di pemerintahan lewat partai yang netral. Inilah taktik kaderisasi, ditanamkan begitu detail hingga yang muncul karakter kita seorang Revolusioner. Lihat kalimat ini yang menggambarkan semua terancang rapi.

Apabila pilihan sudah ditentukan maka tidak ada kata gagal dalam mencetak kader baru. Bertindak hati-hati dan sabar, sangat sabar (86).

Alis Lenin-nya turun naik, jidat berkerut-kerut. Kemudian ia tersenyum, sekali lagi terbukti ia tidak hanya licik tetapi juga sabar (145).

Kedua, energi besar ini sungguh luar biasa, dia mampu membuat nalar manusia bertekuk lutut mengikutinya. Pemisahan agama dan kehidupan sehari-hari. Penuntutan keadilan dengan secala cara, dll. Semuanya seakan benar hingga menghapuskan hakikat asli manusia diciptakan itu apa. Lihat beberapa kalimat dalam buku ini, berikut saya kutip:

Bagi kaum Marxis, agama adalah candu yang meninabobokan agar tertidur dari rasa ingin menuntut hak-hak mereka (143).

Dalam kehidupan sehari-hari, meraka tidak pernah mengucapkan uluk untuk salam, apalagi takbir, meraka adalah orang-orang komunis (138).

Cukup bila ku katakan agama adalah urusan pribadi. Seharusnya kau senang, aku tidak melarangmu beribadah (142).

... keihklasannya menjalani hidup membuat Karman iri. Dulu, dalam diskusi-diskusi yang diselenggarakan oleh partai, orang seperti Kastagethek sering dipakai sebagai contoh manusia yang tertindas oleh kelas penghisap. “Aku dapat mengatakan bahwa kemiskinan yang dialami Kasta dan jutaan orang seperti dia disebabkan oleh sistem kemasyarakatan yang tidak adil. Karena miskin, mereka menjadi lemah dan bodoh. Selanjutnya, kebodohan kembali melahirkan kemiskinan. Dengan demikian, kemiskinan, kebodohan, serta kelemahan telah membentuk rantai tertutup sehingga jadilah lingkaran setan yang tidak bisa lagi dlihat ujung pangkalnya. Dan kelas penindas menggunakan agama sebagai cand untuk meninabobokan orang tertindas agar terlena dan tidak menuntut hak-hak sosial mereka”. “Aku juga sudah mempelajari teori-teori yang membicarakan bagaimana menghapus kemiskinan di tengah masyarakat. Kuncinya, keadilan harus ditegakkan. Dan caranya, menurut ajaran partai, masyarakat miskin harus bersatu dan merebut kembali sistem yang mengatur mekanisme kehidupan masyarakat. Aku tahu, meskipun untuk untuk mencapai tujuan partai membenarkan segala cara, namun usaha itu ternyata gagal. Dan penggunaan cara yang tidak mempertimbangkan harkat kemanusiaan itu, sebenarnya kesadaranku tidak bisa menerimanya. Andaikan sejak semula aku menyadari bahwa partai bisa melakukan makar yang begitu berlumuran darah seperti terjadi kemarin, sesekali aku tidak ingin menjadi anggota partai” (179).

Perspektif ini tidaklah komprehensif. Ada baiknya jika novel ini kemudian dibaca sendiri dan diresapi dengan ragam pengetahuan dari sumber yang berbeda dengan topik yang sama. 

Sebagai akhir, mari kita refleksikan sedikit kisah itu ke dalam kondisi saat ini. Adakah oleh kita tertangkap pesan-pesan yang hampir serupa kala masa itu dan masa kini? Bila belum tertangkap, beberapa kutipan dari buku ini setidaknya bisa membuat kita semua berpikir.

Orang juga kurang memperhitungkan bahwa Muso, tokoh komunis penggerak makar ini, telah berhasil menanamkan pengaruh terhadap sementara kaum terpelajar, disebut kader pilihan (84).

Menghancurkan nilai yang telah mapan, menghalalkan sesuatu yang diharamkan (148).

Lalu, sikap kita semestinya adalah...

Aku Karman, adalah manusia seperti manusia-manusia lain di dunia. Selain punya keyakinan ideologis, aku juga punya rasa, punya ikatan keluarga, punya naluri dan akal budi. Ya, kini aku ingin mendengar akal budiku sendiri (160).

This is a nameless and endless war, between God dan Evil, between how your believe (Allah Swt.) and waht they disbelieve. The choise is yours. (xix, Shodow Goverment and Big Brother book)

Jakarta, 2 Syawal 1437 H/7 Juli 2016

0 Komentar