Bangun Budaya Intelektual di Era Digital


NESIAPOS - Oleh: Rozi, S.Sos., MA.*

Saat ini kita diperhadapkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi yang sangat pesat. Suka tak suka, manusia harus cepat untuk beradaptasi dengan perkembangan tersebut. Karena bagaimana pun juga, demikian tidaklah dapat dihindari.

Namun, tetap cerdas dalam menyikapinya. Dengan artian bahwa jangan sampai terlarut dan terlena sehingga melupakan jati diri yang penuh makna. Ini pun disinggung dalam buku Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika.

Sejatinya dalam pandangan agama pun, ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi seperti saat ini sungguh sangat penting bagi kehidupan manusia. Kita pun dituntut untuk dapat menguasainya. Sebab jika tidak, manusia akan tetap berada pada kebodohan dan kemiskinan intelektual. Sedangkan untuk menguasainya tidaklah bertentangan dengan agama. Dengan artian bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi harus selaras dengan hal-hal lama yang baik.

Sebagaimana termaktub dalam satu kaidah masyhur yaitu: “Al-Muhafadzotu ‘Ala Qodimis Sholih, wal Akhdzu bil Jadidil Ashlah” makna bebasnya adalah: Manusia tetap dituntut untuk dapat memelihara atau menjaga hal-hal lama yang baik, namun tetap menerima hal-hal yang baru agar menjadi lebih baik. Dengan catatan tanpa harus meninggalkan hal-hal yang lama yang baik (baca: Agama). Oleh sebab itu, manusia harus dapat memanfaatkan kemajuan teknologi guna menambah khazanah ilmu pengetahuan. Terlebih di era digital seperti saat ini.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa masyarakat sudah diarahkan kepada sistem yang serba digital. Demikian itu ditandai dengan peresmian penutupan siaran TV analog dan diganti dengan siaran digital tepatnya pada 2 November 2022 tahun lalu. Ini menjadi bukti bahwa seyogianya masyarakat harus peka dengan perkembangan zaman.

Sisi baiknya jika manusia dapat memanfaatkan era digital maka dengan mudahnya mereka mendapatkan informasi tentang dunia sekitar bahkan luar. Prinsipnya, jika pemanfaatan era digital ini dengan sebaik-baiknya maka masyarakat akan menjadi cerdas. Karena itu, alangkah baiknya jika kita memanfaatkan era digital ini untuk membangun budaya intelektual.

Secara bahasa, budaya intelektual dapat diartikan sebagai budaya yang dibangun guna menumbuhkembangkan berpikir kritisnya seseorang, responsif, dan ada solusi guna menyelesaikan persoalan yang acap kali berkembang di tengah kehidupan masyarakat.

Namun, cukup disayangkan saat ini budaya intelektual yang sepatutnya terbangun di perguruan-perguruan tinggi agaknya sudah mulai terkikis. Hal itu tampak dari kalangan mahasiswa yang mengataskan dirinya sebagai cendekiawan atau kaum intelektual, mulai melupakan peran mereka sebagai agent of social change and control.

Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan seringkali terlihat sebatas kegiatan yang sifatnya serimonial, yang tidak secara signifikan dapat menambahkan kekayaan intelektualnya. Jarang sekali terlihat diskusi-diskusi seperti bedah pemikiran, menulis buku, menulis artikel ilmiah, atau kegiatan yang sifatnya mengayakan keilmuan mereka.

Lantas apa yang menjadi penyebabnya? Mungkinkah ruang-ruang diskusi keilmuan sudah tidak menarik lagi? Ataukah mungkin belum dimulaikan saja? Atau bisa jadi mereka hanya sibuk dengan dunia gadget di genggaman masing-masing? Apa pun itu, pastinya kita harus memulainya kembali.

Membangun budaya intelektual di era literasi digital sedikitnya ada tiga hal penting yang harus ada, yaitu: Pertama, mampu memahami, menggunakan, dan memanfaatkan teknologi guna mendapatkan dan menyebarluaskan informasi dalam dunia digital seperti saat ini.

Kedua, selalu metingkatkan budaya membaca dengan memperbanyak referensi atau sumber. Karena membaca adalah hal yang sangat penting. Bahkan agama pun memerintahkan pertama kali terhadap Nabi Muhammad SAW adalah membaca. Akan tetapi harus dipahami membaca maksud saya adalah membaca dengan penuh pemahaman, bukan hanya sekadar mengeja (reading with understanding, not reciting).

Kemudian yang ketiga adalah sering-sering melakukan diskusi, baik diskusi kecil maupun besar (bisa dilakukan secara offline ataupun online). Karena dengan diskusi, nalar kritis kalangan intelektual (bisa jadi: guru, dosen, mahasiswa, dan lainnya) akan terbangun dan terasah. Oleh sebab itu, dengan melanggengkan tiga hal ini, menurut hemat saya: akan bermunculan kalangan-kalangan intelektual yang hebat meskipun di tengah maju pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi seperti saat ini.

*Dosen Prodi Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Bangka Belitung

0 Komentar